Oleh: Ratna Komalasari, Konsultan Sakinah Finance
Perkembangan teknologi informasi dan generasi yang terus familiar dengan ekonomi mengharuskan para penggiat ekonomi syariah lebih masif dalam berdakwah yang tepat sasaran. Salah satu produk ekonomi syariah yang paling “laris” saat ini adalah produk-produk keuangan. Ditambah dengan adanya financial technology (fintech) yang mampu meningkatkan konsumsi masyarakat. Misalnya, pada produk yang dibandrol dengan potongan diskon atau promo yang bisa dibeli melalui aplikasi atau e-money tertentu.
Hal ini tentu sangat menggiurkan dari sisi konsumen apalagi jika dilihat, aplikasi-aplikasi dompet virtual yang ada di Indonesia mampu menawarkan diskon mulai dari 10% hingga 75%. Bukankah itu akan sangat menghemat pengeluaran dan meningkatkan konsumsi pada produk lainnya?
Selain dari produk promosi di atas, juga produk lain seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi yang sudah cukup mapan di Indonesia. Lalu apa yang menjadi masalah?
Soal edukasi tentang keuangan syariah sepertinya tidak akan pernah habis untuk dibahas. Karena, alhamdulillah, selalu saja datang masyarakat yang berusaha hijrah menggunakan sistem dan konsep keuangan Islam. Tapi terkadang edukasi yang disampaikan hanya bersifat parsial atau diterima secara parsial juga, hingga tidak memberikan pemahaman yang utuh. Hal ini pun membuat praktik-praktik keuangan Islam terkadang menjadi pincang.
Seringkali, edukasi keuangan syariah bersifat parsial Click To TweetPentingnya Zakat dalam Keuangan Islam
Penulis ingin memberi contoh, yaitu zakat. Bagi sebagian besar praktisi keuangan Islam, membicarakan zakat dan semua permasalahannya adalah santapan sehari-hari. Tapi bagaimana dengan para muhajirin yang berpindah dari keuangan konvensional ke keuangan Islam? Tentu pertanyaan yang akan muncul lebih bersifat teknis. Karena, pasti sudah “kebelet” dengan praktik keuangan Islam tapi melewatkan prinsip-prinsip yang krusial yang membuat sistem keuangan Islam sangat spesial.
Kenapa penulis keukeuh mengharuskan zakat ada di setiap edukasi keuangan Islam. Karena semua sumber penghasilan yang diterima oleh setiap orang baik itu dari investasi, hasil berdagang, hasil beternak hingga barang temuan saja ada zakat yang harus dikeluarkan darinya. Mungkin setelah membaca pernyataan ini, pembaca akan berpendapat, “kok Islam memonopoli banget sih?”
Di lain pihak, penulis yakin para pembaca akan tersenyum ketika mengetahui besaran yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam zakat. Karena sangat jauh dibandingkan dengan pajak yang jenis dan besarannya sangat beragam bahkan bisa dibilang berlipat-lipat dari zakat.
Penulis kembali mengambil contoh dari teman, saudara atau orang-orang disekitar penulis yang sedang belajar mengenai ekonomi syariah. Kebanyakan dari para muhajirin ini curhat mengenai berbagai problem keuangan mulai dari kesulitan menabung, ingin mencoba berinvestasi, tergiur dengan berbagai jenis produk kredit sampai perasaan yang menyimpulkan penghasilan yang diperoleh tidak pernah cukup untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Padahal jika mengenal lebih dalam ekonomi syariah, maka semua masalah di atas sudah ada solusinya. Sebelumnya sudah sangat sering disampaikan bagaimana Allah mencabut keberkahan dari harta kita, jika pendapatan tidak pernah seimbang dengan pengeluaran bahkan hingga minus.
Jika solusi yang dicari oleh pembaca selama ini adalah solusi konvensional maka kemungkinan besar ada dua. Pertama adalah menurunkan tingkat konsumsi, kedua, menambah jumlah pendapatan. Tapi bukan itu yang ditawarkan oleh sistem keuangan Islam. Jika pembaca merasakan apa yang dirasakan salah satu millennial ini, Islam mengharuskan kita mengevaluasi sudahkan zakat, infaq, shodaqoh ditunaikan?
Sudahkah berikhtiar untuk melunasi hutang-hutang? Click To TweetSudahkah berikhtiar untuk melunasi hutang-hutang? Sudahkah meminta maaf kepada orang-orang yang dizalimi? Sudahkah meminta doa dari kedua orang tua? Karena Islam bukanlah sistem satu dimensi. Jika dilihat di atas mungkin secara teoritis tidak akan pernah ditemukan bagaimana bisa permasalahan pengeluaran yang selalu kurang justru diselesaikan dengan mengeluarkan lagi harta di luar pengeluaran utama seperti ZIS (HR. Bukhari 1472).
Perlukah Berhutang?
Kemudian curhatan kedua yang mulai tergoda untuk berhutang. Berbicara mengenai hal ini kita bisa melihat dari sisi pemberi hutang atau berhutang. Pada kasus sahabat yang curhat ini, dia ingin mencoba berhutang karena ditawai kartu kredit dengan banyak kemudahan akses. Sementara, jika dilihat dari ritme kerja dan kehidupannya dengan menggunakan uang tunai saja sudah lebih dari cukup.
Bagi para pembaca yang memiliki permasalahan yang sama mulai tergiur dengan jenis-jenis hutang ini tanyakan kembali pada diri sendiri seberapa perlukah hal ini? Dampak apa yang akan dihadapi di masa depan jika mengambil kemudahan ini? Para pembaca mungkin akan sedikit lebih paham jika merujuk pada (QS Al-Hadid: 2) dimana Allah menjelaskan akan melipatgandakan kebaikan bagi siapa saja yang memberikan pinjaman kepada Allah (dalam hal ini memberikan hutang).
Kenapa? Karena pada saat Anda memberikan hutang itu artinya si penerima hutang sedang dalam kesulitan dan membutuhkan. Maka dalam skema akad pun akad utang-piutang uang termasuk dalam akad tolong menolong yang mengharamkan adanya tambahan apabila dikembalikan (QS Ali-Imran: 30).
Dari landasan-landasan ini sudah sangat jelas bahwa ketika memutuskan untuk menerima kemudahan berupa hutang, artinya Anda dalam keadaan sedang membutuhkan, bukan sekadar coba-coba.
Millenial mahir dalam mengelola keuangan! Click To TweetTerakhir, generasi millenial diklaim sebagai generasi yang sudah sangat melek dengan teknologi. Ternyata, berdasarkan survey, generasi ini pun paling melek bahkan mahir dalam mengelola keuangan. Sehingga tidak aneh jika pertanyaan-pertanyaan seputar pengelolaan keuangan di generasi ini pun sudah mengarah ke arah pengelolaan investasi. Walaupun sebenarnya, para millenial ini belum memiliki penghasilan tetap.
Sebagai penggiat ekonomi syariah, penulis merasa tidak perlu mengulang materi tentang pentingnya investasi. Tapi perlu kemudian memahamkan dalam investasi itu ada zakatnya juga. Kalau investasi di secondary market pilih yang perusahaannya bergerak dalam usaha-usaha yang tidak dilarang Islam. Yang dilarang adalah industri terkait miras, rokok, senjata, bank ribawi, dan lain sebagainya.
Itulah sekelumit curhatan para millenial yang sama-sama sedang berhijrah untuk mengenal lebih dalam ekonomi Islam bukan hanya secara teoritis, juga secara praktik.